BAB 1 KELAS XI SEJARAH ILMU KALAM SMT 1
BAB 1
AKIDAH AKHLAK
SEJARAH ILMU KALAM DAN PERISTIWA TAHKIM
KELAS XI SMT GASAL
BAB 1 : SEJARAH ILMU KALAM
A. Sejarah Ilmu Kalam
1. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam merupakan ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap bagi - Nya, sifat-sifat jaiz disifatkan kepada Nya dan sifat-sifat yang sama sekali wajib ditiadakan dari - Nya.
Dengan adanya ketentuan mengenai hukum akal dan terdapatnya ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al Qur’an maka hal tersebut merupakan peluang bagi mereka yang suka berpikir, terutama karena panggilan agama untuk memikirkan semua makhluk Tuhan.
Secara bahasa (etimologis) ilmu kalam berarti perkataan, pembicaraan, yakni pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Dengan demikian ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika (dapat dipikir dengan menggunakan akal)
Sebagian ulama mengartikan ilmu kalam sebagai ilmu yang membahas mengenai wujud Allah, sifat-sifat Allah baik wajib maupun jaiz dan sifat yang sama sekali tidak ada pada Allah. Selain itu, ilmu kalam juga membahas mengenai rosul-rosul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib ada pada dirinya, hal-hal yang jaiz, dan hal-hal yang terlarang dikaitkan dengan diri rosul. Adapun menurut pendapat Ibnu Khaldun, ilmu kalam dipandang sebagai ilmu yang berisi alasan mempertahankan kepercayaan keimanan dengan menggunakan dalil pikiran serta berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan Salaf dan Ahli Sunnah.
2. Dalil tentang Ilmu Kalam
Ilmu kalam membahas mengenai keesaan Allah Swt. Yang didalamnya juga terdapat nama-nama Allah Swt. Dan membahas tentang sifatwajib, mustahil, jaiz Allah Swt dan Rosul. Berikut keutamaan mempelajari ilmu kalam:
a. Bisa menerapkan amalan secara konsisten
Tujuan mempelajari ilmu kalam membuat seorang muslim tidak mudah retak dibandingkan yang hanya sekedar meyakini tanpa dasar ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Mempelajari ilmu kalam membuat kita tetap isthikomah dalam menjalankan perintah Allah.
b. Tidak mudah melenceng dari ajaran agama
Ilmu kalam dipelajari agar tidak melenceng dari ajaran agama Islam. Dasar dalil mengenai ilmu kalam terdapat dalam Q.S. Al Baqarah ayat 257
اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَوْلِيَاۤؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِّنَ النُّوْرِ اِلَى الظُّلُمٰتِۗ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَࣖ٢٥٧
Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan menuju cahaya (iman). Sedangkan orang-orang yang kufur, pelindung-pelindung mereka adalah tagut. Mereka (tagut) mengeluarkan mereka (orang-orang kafir itu) dari cahaya menuju aneka kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.
c. Dapat memperkuat dasar pengetahuan Islam
Ilmu kalam menjadi ilmu yang sesuai dengan realita secara objektif. Mempelajari ilmu kalam dapat memperkuat dasar ilmu agama.
3. Ruang lingkup Ilmu Kalam
Ilmu kalam merupakan ilmunya Allah Swt. Menurut Hasan Al Bana menjelaskan bahwa ilmu kalam merupakan suatu bahasan tentang segala yang berhubungan dengan Allah Swt baik nama, sifat dan perbuatan Allah Swt. Selain itu juga membahas mengenai Nubuwat atau kenabian, termasuk kitab, mukjizat, kesucian Nabi serta dosa. Ruhaniah segala sesuatu yang berhubungan dengan gaib seperti malaikat, jin, iblis, setan, dan roh. Sam’iyat pembahasan sesuatu yang lewat sam’I (dalil Al Qur’an dan Hadits) seperti alam gaib : alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga, neraka, dan mizan.
4. Fungsi Ilmu Kalam
Pertama adalah ilmu kalam untuk menumbuhkan tauhid, perlu dimengerti bahwa ilmu kalam dihadirkan dalil akal sebagai argumen yang mudah dicerna oleh manusia. Ilmu kalam menitikberatkan pada pembahasan mengenai tuhan sebagai aspeknya. Setelah itu hasil pemahaman, pendalaman, penafsiran, serta perincian tentang akidah merupakan hasil pemikiran atau ijtihad manusia yang mempunyai pemaksaan berbeda-beda sehingga menyebabkan timbulnya aliran-aliran dan mazhab dalam Islam.
Kedua, ilmu kalam dikenal dengan ilmu keislaman yang berdiri sendiri, yakni pada masa khalifah Al Ma’mun (813-833) dari Bani Abbasiyah. Alasan ilmu kalam dinamai ilmu kalam karena persoalan yang menjadi pokok bahasan pembicaraan berabad-abad permulaan hijriyah adalah kalam Allah (Al Qur’an) bersifat qadim dan hadits. Ilmu kalam merupakan dalil-dalil pikiran dari pemikiran pada mutakalimin. Mereka jarang menggunakan dalil naqli (Al Qur’an dan Hadits) kecuali sudah menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalil-dalil pikiran.
5. Nama-nama lain Ilmu Kalam
a) Ilmu Tauhid = mengenai keesaan Allah Swt
b) Ilmu Usuludin = prinsip-prinsip kepercayaan agama dengan dalil yang qot’I (Al Qur’an dan Hadits mutawatir) serta dalil akal pikiran
c) Ilmu Akidah = ilmu yang membahas mengenai kepercayaan Islam. Sama-sama membahas mengenai tuhan.
6. Metode Pembahasan llmu Kalam
Para Mutakalimin mempunyai ciri-ciri khusus dalam membahas ilmu kalam yang berbeda dengan ulama-ulama lain. Sesungguhnya, Mutakalimin mempunyai sistem dalil yang berbeda dengan sistem Al-Qur' an dan hadis serta fatwa-fatwa sahabat dalam membahas, menetapkan, dan berdalil. Dari sisi lain, berbeda pula dengan sistem filsafat dalam membahas, menetapkan, dan berdalil. Menurut pendapat Ahmad Amien, sistem, Mutakalimin dalam membahas ilmu kalam berbeda dengan sistem orang-orang sebelum dan sesudahnya.
Adapun perbedaan sistem yang digunakan Mutakalimin (ulama kalam) dengan sistem A1-Qur'an itu berdasarkan seruannya yang berpegang pada fitrah manusia. Hampir setiap manusia dengan fitrahnya mengakui adanya Tuhan yang menciptakan dan mengatur alam. Hampir setiap manusia dengan fitrahnya sepakat terhadap hal tersebut, sekalipun berbeda dalam menamakan Tuhan dan menyebutkan sifat-sifat-Nya. Yang demikian, baik bangsa yang masih bersahaja (primitif) sampai yang telah Dengan akal, manusia dapat berpikir maju kebudayaannya. Dalam menunjukkan tentang ciptaan Allah Swt. dengan segala keindahannya, di mana alam ini merupakan dalil tentang wujud Allah yang dihukumi oleh akal. Jika dogma tersebut sudah dihukumi oleh akal maka rahasia dogmanya (Prinsip) dalil, Al-Qur'an selalu menggugah fitrah manusia untuk memperhatikan struktur alam dengan segala keindahannya, dimana alam ini merupakan wujud Allah yang paling nyata (autentik).
Adapun ulama kalam (Mutakalimin) menggunakan akal untuk mencari Tuhan, tetapi mereka tidak puas karena ada hal-hal (Dogma) yang berada di luar jangkauan kekuasaan akal manusia. Menurut orang-orang barat, dogma harus berada di bawah akal agar tidak dihukumi oleh akal. Jika dogma tersebut sudah dihukumi oleh akal maka rahasia dogmanya sudah tidak dihukumi rahasia lagi. Dogma akan lumpuh karena bertentangan dengan akal kemudian ditolak. Tauhid merupakan satu hal yang berbeda dengan dogma. Sebab, manusia mencari tuhan dengan jalan memperbaiki alam semesta.
Sistem yang dikembangkan mutakalimin dalam memahami kebenaran agama diawali dengan beriman kepada Allah dan segala yang dibawa oleh Rosul-Nya. Akan tetapi, mereka perkuat dengan dalil-dalil akal yang disusun secara ilmu mantiq. Mereka beralih dari segi fitrah ke arah pikiran. Sebagai contoh ulama mutakalimin berpindah dalil dengan barunya alam untuk menetapkan wujud Allah.
Mengenai nas-nas mutasyabihat, para mutakalimin tidak merasa puas dengan beriman secara ijmaly saja, tanpa mengandalkan takwil. Mereka mengumpulkan nas-nas yang pada lahirnya bertentangan, lalu menakwilkan nas-nas tersebut dan takwilnya menjadi ciri khusus mutakalimin. Menakwilkan nas-nas berarti memberikan kebebasan kepada akal untuk membahas dan memikirkannya. Dengan sendirinya akan menimbulkan perbedaan takwil yang dikenal dengan semasa hidup rasulullah.
E. Penerapan lImu Kalam
Untuk dapat memahami ilmu kalam secara utuh, harus dimulai dari belakang yang mendorong timbulnya ilmu kalam. kalam sebagai ilmu yang mempelajari latar berdiri sendiri dan belum dikenal pada masa Nabi Muhammad saw. maupun pada masa sahabat. pada periode pertama, mereka beriman kepada takdir baik dan buruk serta beriman bahwa sesungguhnya manusia itu diperintahkan melaksanakan mereka terhadap hal-hal tersebut kuat dan buta, tanpa perintah-perintah Allah. Iman pikirannya. Kemudian, datang orang-orang membahas secara mendalam dan tanpa memfilsafatkan orang yang mengumpulkan ayat-ayat seputar masalah memfilsafatkannya. tersebut dan Di satu pihak, ada ayat-ayat yang menunjukkan (ijbar, predestinasi) adanya paksaan dalam pemberian tugas di luar kemanmpuan manusia (baca Q.S.al-Baqarah/2: 6). Disisi-sisi lain, banyak ayat yang menerangkan bahwa manusia bisa melakukan ikhtiar dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya (indeterministis). Sebagaimana firman firman Allah Swt. Berikut
Artinya:
Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk datang kepadanya ... (Q.S. al-Isrå'/17: 94)
Ketika Rasulullah telah wafat, beliau tidak menuniuk seorang pengganti dan tidak puas menentukan prosedur yang bisa digunakan dalam pemilihan khalifah. Sebagai bukthnya, golongan Muhajirin dan Ansar berselisih pendapat dengan alasannya masing-masing.
Apabila memperhatikan masalah khilafah dengan akal pikiran yang sehat maka dapat disimpulkan bahwa masalah khilafah merupakan persoalan politik. Agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk khilafah dengan cara tertentu. Namun, agama hanya memberikan ketentuan agar memperhatikan kepentingan umum.
Perselisihan politik yang diwarnai oleh agama membawa mereka kepada perbedaan dalam memberikan definisi tentang iman, kufur, dosa-dosa besar, dosa-dosa kecil, hukum orang yang melakukan dosa besar dan sebagainya. Setelah itu, mereka terbawa kepada perselisihan di bidang furu' sehingga tiap-tiap kelompok menjadi golongan yang berselisih di bidang ushul dan furu' sepanjang zaman. Persoalan dosa menjadi perhatian sentral, kemudian dilanjutkan mengenai sumber kejahatan dan perbuatan manusia. Karena adanya penentuan sumber ini maka dengan mudah diberikan vonis kepada pelakunya sebagai orang yang salah. Jika manusia sendiri sebagai sumber perbuatan maka sudah jelas, tetapi jika sumber perbuatan tersebut adalah Tuhan, manusia hanya pelaku semata-mata maka keputusan manusia tersebut berdosa atau kafir merupakan hal yang masih belum jelas. Inilah yang menyebabkan timbulnya golongan Jabariyah, Qadariyah, Muktazilah, dan Asy'ariyah yang membicarakan masalah perbuatan bamba (af'alu lil 'ibad), yaitu apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat atau tidak.
Di sisi lain, para Mutakalimin memiliki kepentingan terhadap filsafat dengan tuiuan untuk menghadapi dan mengimbangi musuh-musuhnya yang menguasai filsafat. Mutakalimin perlu mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama. Tuntutan ini mengharuskan Mutakalimin untuk mempelajari filsafat Yunani dalam meng. ambil manfaat ilmu logika, terutama dari segi ketuhanannya. Kita mengetahui an-Nadham tokoh Muktazilah) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak beberapa pendapatnya.
F Latar Belakang Aliran llmu Kalam
Perang Shiffin merupakan peperangan antara Ali dan Muawiyah. Muawiyah adalah anak
Abu Sufyan, paman Usman, seorang pemuka Bani Umayyah amat disegani dan dipatuhi
oleh marganya. Karenanya, peristiwa terbunuhnya Usman merupakan malapetaka yang
menimpa umat Islam yang mengakibatkan hubungan antara Muawiyah dan Ali semakin
Kebijakan Ali terhadap pembunuh Usman yang diulur-ulur membuat Muawiyah menegang. beranggapan Ali memilikı hubungan dengan para pembunuh Usman. Oleh karena itu Muawiyah mengangkat dirinya sebagaı ahli waris Usman untuk membalas dendam atas pembunuhannya. Sikap Muawiyah inilah yang memicu terjadinya perang Shiffin.
Setelah pemberontakan yang dilakukan oleh Aisyah dalam perang Jamal dapat dimenangkan, kemudian khalifah Ali berangkat menuju Syiria Utara untuk menghadapi kelompok Muawiyah. Namun, ternyata Muawiyah telah lebih dahulu bergerak dengan 85.000 orang pasukan untuk mempertahankan wilayah tersebut.
Perang Jamal mengakibatkan gugurnya ribuan tentara Ali, sementara itu Muawiyah memperkuat laskarnya dengan memberi imbalan kepada pengikutnya sehingga ikatan kesatuan mereka menjadi kuat. Baju gamis Usman yang berlumuran darah dibentangkan Muawiyah dì mimbar masjid, beberapa bukti tewasnya istri Usman yang saat itu menghambat serangan kaum pemberontak juga ikut dipajang.
Penduduk Syam menolak memberikan jabatan khalifah kepada Ali. Menurut mereka, hal tersebut berarti menyerahkan jabatan khalifah kepada Bani Hashim untuk selamanya. Mereka berpendapat bahwa jabatan khalifah merupakan hak kaum muslimin. Mereka memihak kepada Muawiyah karena kehidupan mereka bertambah baik dan makmur di bawah pemerintahannya. Dalam keadaan demikian, Ali maju dengan tentaranya ke Syam, kedatangan Ali disambut oleh laskar Muawiyah.
Kedua laskar bertemu di sebuah tempat dekat sungai Eufrat. Ali berkali-kali meminta Muawiyah untuk berbaiat kepadanya, tetapi Muawiyah menolak. Pertemnpuran pun terjadi di antara kedua laskar, disebut dengan perang Shiffin karena terjadi pada bulan Shafar tahun 37 H/658 M. Diawali dengan perang-perang tanding selama tujuh hari dengan korban berguguran dari masing-masing pihak. Pada hari kedelapan, pecahlah pertempuran secara total. Pasukan melawan pasukan, gemericing suara pedang, dan anak panah berterbangan seperti hujan yang mengguyur terjadi di mana-mana. Dalam pertempuran tersebut Umar bin Yasir tewas, kematian tokoh yang dihormati tersebut membangkitkan semangat tempur yang tiada terkira dari pihak pasukan khalifah Ali. Ali dengan keberaniannya dapat membangkitkan semangat dan kekuatan laskarnya sehingga kemenangan sudah membayang baginya. Pasukan demi pasukan dari pihak Muawiyah berguguran sehingga desakan tidak tertahankan lagi. Dalam pertempuran terebut, tercatat korban mencapai ± 80.000 orang, 35.000 dari khalifah Ali dan 45.000 dari kelompok Muawiyah. Pada saat terdesak, tanda-tanda kehancuran telah membayangi pasukan Muawiyah, kemudian Amru bin Ash memberikan sebuah anjuran kepada Muawiyah supaya mengangkat mushaf Al-Qur' an pada ujung tombak, sambil menyerukan, "Marilah ber-tahkim pada kitabullah!" Anjuran tersebut diperintahkan kepada anggota-anggota pasukanya untuk meniru apa yang ia lakukan.
Sebagian besar dari pasukan Ali menghentikan kuda atau untanya dan menurunkan pedang mereka demi mendengarkan seruan tersebut serta menyaksikan sekian banyaknya mushat Al-Qur an berayun-ayun di udara. Ali tetap mendorong pasukannya untuk terus berperang meski musuh meminta ber-tahkim, sebagian tentara Ali meminta untuk menghentik pertempuran. Pada saat itulah timbul selisih pendapat dari pasukan Ali yang makin lama maku tajam dan buntu. Mereka menuntut khalifah Ali supaya memerintahkan panglima besar Asytar al-Nakhi yang masih melanjutkan pertempuran agar menghentikan pertempuran tersebut.
Setelah gencatan senjata perang Shiffin diumumkan maka perundingan dibuka kembali gagasan yang disampaikan oleh pihak Muawiyah diterima oleh pihak khalifah Ali. Setelah itu, muncullah masalah baru, yakni hakim arbitrase yang akan duduk di dalam majelis tahkim tersebut. Di pihak Muawiyah menunjuk Amru bin Ash, seorang cendekiawan Arab untuk menjabat hakim arbitrase dari pihaknya dengan wewenang dan kekuasaan.
Usaha pemilihan perwakilan untuk menyelesaikan sengketa dengan jalan damai atau perundingan penuh telah dilakukan. Akan tetapi, di pihak Ali terjadi sengketa pemilihan hakim arbitrase, para pendukung Ali bersikeras untuk mengajukan Abu Musa al-Asy' ari seseorang yang lebih mengutamakan agama daripada dunia dan sejak semula menganut pendirian jalan damai bagi penyelesaian setiap sengketa. Dengan terpaksa khalifah, Ali menyetujuinya. Dengan ditetapkanya Amru bin Ash sebagai wakil mutlak dari pihak Muawiyah, ia mendatangi khalifah Ali untuk merundingkan hal-hal yang berhubungan dengan pembentukan majelis hasil perundungan itu merupakan perjanjian antara kedua belah pihak.
Para pemuka penduduk Irak dan para pemuka penduduk Syam membubuhkan tanda tahkim dan tanda tangan pada surat perjanjian yang telah dibuat tersebut. Surat perjanjian disetujui pada tanggal l3 Shafar tahun 37 H. Dengan perjanjian yang telah ditandatangani tersebut terbentuklah majelis tahkim. Pada sidang pertama yang dilakukan dalam majelis tahkim menghasilkan persetujuan, yaitu mengundurkan perundingan hingga bulan Ramadan tahun 37 H/658 M. Perundingan selanjutnya di tempat yang terletak antara Irak dan Syam, yaitu di kota kecil Adzrah. Rentang masa pengunduran panjang tersebut diharapkan gejolak perasaan yang tengah panas akan mendingin sehingga pihak kedua hakim tersebut dapat berunding lebih tenang dalam suasana yang tenteram.
Dalam masa pengunduran panjang tersebut, pihak Muawiyah bin Abi Sufyan mengirimkan utusan kepada Abu Musa al-Asy'ari di Kufah untuk membawa sebuah : Surat yang isinya, bahwa Mu'awiyah ingin mempermudah perundingan. Akan tetapi, surat tersebut bertepuk sebelah tangan karena Abu Musa al-Asy'ari menolak tawaran yang dilakukan oleh Muawiyah.
Dalam perundingan kedua, antara Amru bin Ash dan Abu Musa al-Asy' ari bersepakat: pertama, menetapkan khalifah Usman bin Affan terbunuh secara zalim dan menetapkan
Muawiyah sebagai wali khalifah Usman, yaitu ahli waris Usman yang berhak menuntut balas. Kedua, mereka bersepakat untuk menghentikan perang dan mengadak pemilihan imam yang baru. Masing-masing kedua pihak mengajukan beberapa orang untuk menggantikan Ali, tetapi dua orang juru runding tidak dapat menerima calon yang diajukan oleh Keduanya hanya sepakat menerima usul dari pihak Abu Musa al-Asy'ari, yaitu salah satu pihak.
menurunkan Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib dari kekuasaannya masing-masing dan menyerahkan soal pengangkatan Amirul Mukminin kepada segenap kaum muslimin untuk bermusyawarah dan memilih sendiri orang yang disukainya. Setelah keputusan kedua hakim arbitrase disetujui, saat yang ditunggu-tunggu adalah pembacaan keputusan oleh kedua hakim. Dengan alasan menghormati Abu Musa al-Asy'ari sebagai orang tua, sebagai orang yang lebih dahulu memeluk Islam dan sebagai sahabat Nabi yang saleh, Amru bin al-Ash mempersilakan Abu Musa Supaya menyatakan pengumuman keputusan itu lebih dahulu.
Tanpa prasangka buruk apa pun, Abu Musa tampil depan umum untuk menyatakan pengumuman. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah ia mengumumkan, bahwa di dua orang juru runding yang mewakili masing-masing pihak telah sepakat mengambil keputusan untuk menurunkan Imam Ali dan Muawiyah dari kekuasaannya masing-masing, kemudian menyerahkan soal kekhalifahan kepada kaum muslimin untuk dimusyawarahkan. Abu Musa menyerukan supaya kaum muslimin menghentikan pertikaian dan memilih sendiri seorang khalifah yang disukainya.
Setelah itu, giliran Amru bin Ash menyatakan pengumumannya, setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah ia berkata, “Orang ini (Abu Musa al-Asyari) telah menemukan sahabat dan pemimpinnya sendiri (Imam Ali bin Abi Thalib) dan saya pun turut memecatnya juga, tetapi saya tetap mempertahankan sahabat dan pemimpin saya (Muawiyah)" Mendengar pernyataan Amru bin Ash yang seperti itu, Abu Musa menyahut, "Kenapa engkau berkata begitu, bukankah Allah menjadi saksi atas persetujuanmu, ternyata engkau adalah penipu dan curang" Setelah kejadian tersebut, kegaduhan pun terjadi dan selesailah sudah semua upaya ke arah perdamaian.
Setelah bubarnya peristiwa tahkim tanpa menghasilkan persetujuan apa pun, muncul kembali masalah, yaitu pasukan Ali bin Abi Thalib yang dipimpin oleh Abdullah bin Wahb al-Rasibi dan sekitar 4.000 orang yang menolak tahkim. Mereka memisahkan diri dari Ali dan menyimpan dendam kepadanya karena kecewa terhadap keputusan Ali yang menerima tahkim. Mereka dikenal dengan golongan Khawarij.
Mereka menganggap Ali berperang bukan karena Allah, melainan untuk kepentinganya sendiri. Mereka menyatakan keluar dari kelompok Ali dengan berkata. "Kami bukan pengikut Anda dan bukan pula pendukung keduniaan yang Anda inginkan, kecuali Jika Anda mengaku telah berbuat kufur dan mau bertobat sebagaimana yang telah kami lakukan. Jika Anda mau berbuat seperti itu, kami akan bersama-sama melawan musuh anda. Jika tidak, maka tidak sda sesuatu yang dapat menyelesaikan persoalan kami dengan anda selain perang.”
Pasukan yang menerima tahkim dan masih setia kepada Imam Ali dikenal Syi'ah. Dari perselisihan tersebut mengakibatkan Khawarij melakukan pemberontakan kepada Ali. Pada 24 Januari 661 M, ketika Ali sedang dalam perjalanan menuju masjid kufah. ia meninggal dalam hantaman pedang beracun di dahinya oleh pengikut kelompok khawarij Abdul Rahman bin Muljam yang ingin balas dendam atas kematian keluarga seorang wanita yang terbunuh di Nahrawan. Dengan terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib maka berakhirlah periode kekhalifahan.
B. Peristiwa Tahkim
Peristiwa Tahkim adalah perundingan yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan setelah Perang Shiffin. Peristiwa ini bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan di antara keduanya, namun justru memicu perpecahan lebih lanjut dalam umat Islam.
Latar Belakang:
· Perang Shiffin terjadi karena perselisihan mengenai siapa yang berhak menjadi khalifah setelah terbunuhnya Khalifah Utsman. Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah, namun Muawiyah, yang merupakan sepupu Utsman, menuntut balas atas kematian Utsman dan tidak mengakui kekhalifahan Ali.
· Setelah beberapa kali pertempuran sengit, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan tahkim (arbitrase) untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Proses Tahkim:
· Amr bin Ash, penasihat militer Muawiyah, mengusulkan agar kedua pihak mengangkat mushaf Al-Quran sebagai tanda untuk berdamai dan menyelesaikan perselisihan berdasarkan ajaran Al-Quran.
· Ali bin Abi Thalib menyetujui usulan tersebut dan menunjuk Abu Musa al-Asy'ari sebagai juru bicara dari pihaknya, sedangkan Muawiyah menunjuk Amr bin Ash.
Hasil Tahkim:
· Para juru bicara dari kedua belah pihak sepakat untuk menurunkan kedua khalifah (Ali dan Muawiyah), namun kesepakatan ini tidak diterima oleh semua pihak.
· Peristiwa tahkim ini justru menimbulkan perpecahan baru di kalangan umat Islam, dengan munculnya kelompok Khawarij yang menolak tahkim dan menganggap kedua belah pihak yang terlibat sebagai kafir.
· Selain itu, peristiwa tahkim juga menjadi pemicu munculnya berbagai aliran teologi dalam Islam, seperti Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, dan Jabariyah, yang masing-masing memiliki pandangan berbeda mengenai masalah-masalah teologis.
Dampak Peristiwa Tahkim:
· Perpecahan umat Islam menjadi tiga kelompok: kubu Muawiyah, kubu Syiah, dan Khawarij.
· Munculnya berbagai aliran teologi dalam Islam yang memperdebatkan masalah-masalah seperti dosa besar, kehendak bebas manusia, dan kekuasaan Tuhan.
· Meskipun bertujuan untuk mendamaikan, peristiwa tahkim justru memperdalam perpecahan dan konflik dalam tubuh umat Islam.
Dengan demikian, Peristiwa Tahkim menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan politik dan pemikiran keagamaan.
Komentar
Posting Komentar